Nanda Adenia Novrensyifa (XI-1); Eberlian Faomasida Zamago (XI-1); Aurora Aviva Salma Lhutfitnya’Farros (X-6)
Pembina Pendamping : Fahmi Adi Nugroho, S.Pd., Gr.
Generasi Z lahir di era teknologi yang sudah berkembang pesat dan perangkat digital mudah didapat serta diakses. Ternyata menurut riset CTA, bahwa 86% Gen Z setuju jika teknologi penting bagi kehidupan mereka loh. Mengapa sih? karena faktanya teknologi ini tuh membawa ilmu pengetahuan baru bagi kita. Kalian sadar gak kalau generasi kita tuh keren dan trendy? Pastinya kalian ngerasain era covid-19 kan? Banyak tuh trend keren yang kita temui di platform digital. Gimana susahnya ngaduk kopi dalgona sampai menghafalkan dance choreo di tiktok. Tanpa disadari informasi begitu mudah kita dapat akibat adanya modernisasi serta globalisasi.
Sayangnya, besar arus modernisasi serta globalisasi semakin mempersempit sekat antara individu satu dengan individu yang lain. Ya! Menurut penelitian IPB University 0,5 – 39% remaja menunjukan perilaku antisosial. Kita pasti merasakan asyiknya bermain gawai hingga lupa waktu. Warganet Indonesia menghabiskan waktu hingga 7 jam perhari dalam menggunakan internet loh. Ini memberikan fakta bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang di dunia maya, semakin sedikit waktu pula yang mereka lakukan untuk interaksi dunia nyata.
Dalam nilai budaya, ramah tamah dan ewuh pekewuh tercermin dari cara berkomunikasi yang penuh kehati-hatian, sopan, dan menghargai orang lain. Namun, modernisasi membawa perubahan dalam berinteraksi, terutama melalui teknologi komunikasi media sosial. Orang menjadi lebih cepat dalam berkomunikasi tetapi, sering kali mengabaikan aspek kesopanan dan tenggang rasa yang merupakan inti dari ewuh pekewuh.
Selain itu, modernisasi bisa menumbuhkan sikap mementingkan diri sendiri dan mengingkari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Apatis, Acuh tak acuh, tidak peduli dan masa bodoh sudah melekat pada diri gen Z. Tentu Ini menyimpang dari nilai – nilai budaya. Indonesia dikenal dunia, dengan kesopanan dan ramah tamahnya. Bagaimana jika dekadensi moral terus dilakukan oleh gen Z? Lama kelamaan, eksistensi dan identitas budaya akan terdegradasi. Bisakah kita menghidupkan kembali nilai-nilai budaya yang kita punya sebelumnya?
Di SMA Negeri 1 Bergas, terdapat seorang siswi bernama Farnsisca Aldelia. Lia memiliki kepribadian yang antisosial dengan perilaku menyimpang dari norma-norma sosial yang merugikan serta tidak mencerminkan nilai budaya. Lia sangat fanatik terhadap budaya luar, seperti halnya ia sangat tergila-gila dengan Group Idol Korea. Keseharian Lia tidak jauh dari menonton dan mendengarkan lagu Group Idol NCT. Ya! Fransisca Aldelia seorang Nctzen. “Life Is Still Going On” selalu diputar setiap aktivitasnya.
Kala itu, saat pembelajaran bahasa Jawa. Lia duduk di baris paling pojok sambil mengenakan headset yang sedang menikmati irama musik. Pak Joko Pujiyanto atau kerap dipanggil Pak Jack mulai membuka pembelajaran pada siang hari itu. Lia sadar kehadiran pak Jack di dalam kelasnya. “Sugeng siyang cah-cah” dengan senyum khasnya. Pak Jack membuka sesi kelas dengan membawa suasana yang bersahabat. Sontak semua murid menjawab salam hangat dari Pak Jack, terkecuali Lia. Bukannya mematikan lagu, tetapi malah terus melanjutkan musiknya itu sembari bersenandung.
Dengan sikap angkuhnya, Lia acuh akan kehadiran Pak Jack. “ Lia…” teguran pertama yang dilontarkan oleh Pak Jack. “ Lia…” untuk kedua kalinya. Kalian tahu respon Lia? Ia hanya meilirik mata ke arah Pak Jack tanpa menoleh. Gimana kalau kalian ada di posisi Pak Jack? Kalian bakal marah kan?. Begitu juga dengan beliau.
“ BRAKKK ” dentuman keras itu terdengar ke seluruh sudut ruang kelas. “ Eh kenapa tuh? “ murid di bangku pojok yang tidak melihat kejadian itu bertanya-tanya bagaimana bisa Pak Jack sudah berada di depan meja Lia? Apa yang barusan dilakukan oleh Pak Jack? Terlihat Pak Jack dan Lia saling bertatap mata yang terasa mencekam. Ada apa dengan mereka? Wajah Lia terlihat kering dan pucat. Apa karna Lia belum memakai moisturizer?
Pak Jack memasang raut muka yang datar dan seolah-olah baru saja mengeluarkan tenaga yang besar. Suara keras tadi memang berasal dari meja Lia untuk menyadarkan sikapnya tadi sangat tidak menghormati gurunya sebagai orang yang lebih tua. Guru-guru serta teman Lia, sudah tak heran akan sikapnya, bahkan ketika tahu gebrakan meja dari Pak Jack ditujukan kepada Lia, teman-teman sekelas pun biasa saja. Bagaimana tidak? Selain tidak bisa menghormati orang-orang sekitarnya, ia tak mampu bersosialisasi sehingga tidak mempunyai sikap keramah tamahan
Di sisi lain, Lia tidak pernah menunjukkan ekspresi senyum kepada guru dan teman-temannya. Lia tidak pernah menyapa ketika berpapasan dengan guru, bahkan gurunya sendiri sudah mengawali senyuman, tetapi respon Lia tidak mengenakan. Lia mengartikan bahwa berpapasan dengan orang lain bukan suatu keharusan untuk mengucap salam dan menyapa. Presepsi inilah membuat Lia menjadi seseorang yang hanyut dalam pola modernis dengan berkiblat kepada sistem budaya Barat.
Hubungan Lia dengan guru serta temannya semakin jauh.’’IM OKAY!’’ prinsip Lia. Ia merasa jika bisa berdiri sendiri sebagai makhluk sosial. Lia nyaman dengan keadaannya saat ini untuk menghabiskan waktu streaming Music Video Korea, dan memandangi photocard Idol-nya sembari berkhayal.
Sebagai seorang guru bahasa jawa, ada hal penting yang perlu disampaikan Pak Jack kepada murid-muridnya, mengenai Adab lan Unggah-Ungguh. Pembelajaran bahasa jawa di kelas XI-1 dimulai pukul 12.35 WIB setelah jam istirahat. Pak Jack berjalan menuju kelas membawa harapan besar bisa menyampaikan hal tersebut, terutama kepada siswi minggu lalu yang berperilaku buruk dihadapannya. “Baik silakan kalian membentuk 6 kelompok”. Semua murid sibuk mencari kelompoknya, sedangkan Lia? Hanya bingung dan kewalahan sendiri karena teman-temannya tidak mau menerima kehadiran Lia di setiap kelompok.
Akhirnya, yang tersisa hanya Lia seorang. “ Kok gak ada yang mau menerima aku ya? ” batin Lia. “ Oke, apakah sudah mendapat kelompok semua? ”. tanya Pak Jack kepada muridnya sambil melirik Lia yang masih termenung sendiri.
Tak mungkin Lia hanya berdiam diri. Akhirnya Ia menghampiri Pak jack lalu mengeluhkan bahwa tak ada teman yang mau menerimanya. Hanya terdiam. Sikap yang ditunjukan pak jack kepada Lia. Sungguh! Seorang Fransisca Aldelia diperlakukan seperti ini? Lia tertampar. Ia langsung tersadar akan sikap yang pernah ia lakukan terhadap Pak Jack. Minta dihormati tapi gabisa menghormati? Bagaimana bisa? “Maaf Pak” 2 kata yang diucapkan lirih oleh Lia.
Menghela nafas, Pak Jack menyampaikan maksud pentingnya adab dan unggah ungguh serta hormat menghormati. Beliau menasehati berharap dapat merubah sikap buruk Lia. “Jangan sampai tekonologi melenakan dirimu dalam dunia maya, kamu lupa akan kehidupan sosial di sekitarmu. Boleh saja kamu asyik dengan kesenanganmu, tapi sesuaikan dengan realita yang ada. Tata sikap hormat kepada sesama, ciptakan suasana hangat dengan teman temanmu. Mulai dengan memberi senyum, menghaturkan salam atau sapa tak lupa dengan sopan santun nya.”
Pesan yang diucapkan oleh Pak Jack membuat Lia sadar akan sikapnya selama ini. Lia terdiam dan di otaknya seperti ter-flashback sikap yang sudah diperbuatnya. “Ternyata aku salah”. Hanya itu yang dapat Lia rasakan. Di kemudian hari saat jam istirahat ada yang memanggil Lia. “ Lia, ayo ke kantin bareng ” terdengar suara perempuan sebaya dengan Lia. Lia kaget dan reflek menoleh. Tak disangka, ternyata masih ada yang mau berinteraksi dengan Lia. Dari situ Lia memulai hubungan yang baik kepada temannya, mereka sudah tidak memandangnya sebagai seseorang yang antisosial.
Jadi, dari sini kita tau kalau pengaruh dari adanya modernisasi serta globalisasi ini tidak hanya memberikan dampak yang baik aja, tetapi malah bisa ngebuat kita jadi terlena dengan dunia maya. Nggak usah gampang fomo atau selalu pengen ngikutin trend yang ada. Nggak semua trend itu ngasih impact yang baik buat kita. Kita harus menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Indonesia yang kondisinya sudah mulai terkikis. “Grapyak dalam Bicara, Smanak dalam Bertindak, Ewuh Pekewuh dalam Bersikap!”
The Revitalization of “Grapyak Semanak and Ewuh Pekewuh” Values for Gen Z in the Modern Era
Generation Z was born in an era where technology had already developed rapidly, and digital devices were easy to access. According to CTA research, 86% of Gen Z agree that technology is important in their lives. Why is that? Because the fact is, technology brings new knowledge to us. Do you realize how cool and trendy our generation is? You all must have experienced the COVID-19 era, right? We saw many cool trends on digital platforms, like how hard it was to mix Dalgona coffee or memorize dance choreos on TikTok. Without realizing it, information is now so easy to access due to modernization and globalization.
Unfortunately, the massive flow of modernization and globalization has narrowed the gap between individuals. Yes! According to research by IPB University, 0.5 – 39% of teenagers show antisocial behavior. We’ve probably all felt how fun it is to play with gadgets until we lose track of time. In fact, Indonesian internet users spend up to 7 hours per day online. This shows that the more time a person spends in the virtual world, the less time they spend interacting in the real world.
In terms of cultural values, hospitality and “ewuh pekewuh” (the Javanese concept of mutual respect and courtesy) are reflected in communication that is cautious, polite, and respectful. However, modernization has brought changes to the way we interact, especially through social media. People communicate faster, but often disregard the aspects of politeness and empathy, which are central to “ewuh pekewuh.“
Moreover, modernization can foster selfishness and contradict our nature as social beings. Apathy, indifference, and disregard have become common traits in Gen Z, which deviates from cultural values. Indonesia is known globally for its politeness and hospitality. What happens if Gen Z continues to practice moral decadence? Eventually, our cultural identity will erode. Can we revive the cultural values we once had?
At SMA Negeri 1 Bergas, there was a student named Fransisca Aldelia. Lia had an antisocial personality and exhibited behavior that deviated from social norms, which did not reflect cultural values. Lia was very fanatical about foreign cultures, particularly obsessed with Korean idol groups. Her daily life revolved around watching and listening to the music of the idol group NCT. Yes, Fransisca Aldelia was an NCTzen. “Life Is Still Going On” was always playing during her activities.
One day, during a Javanese language class, Lia sat in the far corner wearing headphones, enjoying the rhythm of her music. Mr. Joko Pujiyanto, often called Mr. Jack, started the class that afternoon. Lia noticed Mr. Jack’s presence in the classroom. “Good afternoon, students,” he greeted with his signature smile. The students responded warmly, except for Lia. Instead of turning off the music, she continued to listen and hum along.
With an arrogant attitude, Lia ignored Mr. Jack’s presence. “Lia…” was his first warning. “Lia…” came the second. Do you know how Lia responded? She just glanced at Mr. Jack without turning her head. How would you feel if you were in Mr. Jack’s shoes? You’d probably be upset, right? So was he.
“BANG!” A loud sound echoed throughout the classroom. “What happened?” one of the students at the back wondered, unable to see what had transpired. How did Mr. Jack suddenly end up in front of Lia’s desk? What did Mr. Jack do? There they were, Mr. Jack and Lia, staring intensely at each other. What was going on between them? Lia’s face turned pale and dry. Was it because she hadn’t put on moisturizer?
Mr. Jack’s expression was flat, as if he had just expended a great deal of energy. The loud bang came from Lia’s desk, intended to wake her up to the fact that her behavior was highly disrespectful to her teacher, an elder. Both the teachers and Lia’s classmates were no longer surprised by her attitude. When they saw Mr. Jack slam the desk, no one reacted. Why? Because Lia had long been unable to show respect for the people around her, and she couldn’t socialize, so she lacked hospitality.
Moreover, Lia never smiled at her teachers or classmates. She didn’t greet anyone when passing by, even when her teachers smiled at her first. Lia believed that crossing paths with others didn’t require greetings or pleasantries. This perspective made her a person lost in modernist trends, leaning toward Western cultural systems.
Lia’s relationship with her teachers and classmates grew increasingly distant. “I’m OKAY!” was Lia’s principle. She felt she could stand alone as a social being. She was content spending her time streaming Korean music videos and gazing at her idol’s photocards while daydreaming.
As a Javanese language teacher, Mr. Jack had an important message for his students regarding “Adab lan Unggah-Ungguh” (manners and etiquette). The lesson in Class XI-1 started at 12:35 PM, after the break. Mr. Jack walked to the class, hoping to convey this message, especially to the student who had behaved badly toward him the previous week. “Alright, please form six groups.” All the students busily found their groups, except Lia, who was left confused and overwhelmed because no one wanted her in their group.
In the end, Lia was left alone. “Why doesn’t anyone want to include me?” she thought. “Okay, does everyone have a group?” Mr. Jack asked while glancing at Lia, who sat alone.
Lia couldn’t just stay silent. Finally, she approached Mr. Jack and complained that no one would accept her in their group. Mr. Jack didn’t respond. His silence hit Lia hard. Was this how Fransisca Aldelia would be treated? Lia was struck. She immediately realized how disrespectful she had been to Mr. Jack. She wanted respect but couldn’t show it? How could that work? “I’m sorry, Sir,” Lia said softly.
Sighing, Mr. Jack explained the importance of manners, etiquette, and respect. He advised Lia, hoping it would change her bad attitude. “Don’t let technology consume you in the virtual world, causing you to forget your social life around you. It’s fine to enjoy your hobbies, but balance them with reality. Show respect to others, create a warm atmosphere with your friends. Start by smiling, greeting others, and always being polite.”
Mr. Jack’s words made Lia reflect on her behavior. She was silent, her mind flashing back to all the actions she had taken. “I was wrong.” That was all Lia could think. Later, during a break, someone called out to Lia. “Lia, let’s go to the canteen together,” a girl’s voice said. Lia was shocked and turned around reflexively. To her surprise, someone still wanted to interact with her. From then on, Lia began building better relationships with her classmates, and they no longer saw her as antisocial. So, from this, we can see that the influence of modernization and globalization doesn’t just bring positive impacts, but can also make us get lost in the virtual world. Don’t be easily FOMO or always want to follow every trend. Not all trends have a positive impact on us. We need to revive the cultural values of Indonesia, which are slowly being eroded. “Be friendly in conversation, sincere in action, and respectful in behavior!”
Leave a Comment